“IYA coba, masa aktivis da’wah kayak gitu. Boncengan bareng laki-laki, siapanya ya? Masa pacaran?” tutur teman di samping saya. Sejak satu jam tadi dia terus saja menceritakan kisah yang baru saja dilihatnya semalam.
Dia melihat seorang akhwat tengah berboncengan dengan seorang laki-laki ke arah tempat makan di dekat kampus. Akhwat tersebut memang seorang aktivis da’wah di kampus kami. Pintar mengaji, cantik, pokoknya sholehah dan dambaan semua ikhwan. Itu yang ada dalam benak kami.
“Katanya sih, akhwat itu sudah sejak lama pacaran. Kok bisa ya? Jadi ilfil deh.” Sambungnya lagi dengan mimik gemas. “Gembar-gembor bilang kalau pacaran itu haram, jalan bareng sama laki-laki bukan muhrim itu melanggar larangan agama. Tapi kelakuan sendirinya masih gitu?”
“Ternyata katanya di facebook juga udah sering komunikasi. Kalau liat komentar akhwatnya sama laki-laki itu, merinding liatnya. Gak nyangka deh!”
“Husss, udah ah. Gak boleh ngomongin orang terus, tidak ada manfaatnya juga buat kita.” Ucap saya sekenanya. Walaupun saya bukan akhwat seperti yang diceritakan teman saya. Saya mengerti sedikit tentang agama. “Gak katro bangetlah gitu.”
“Lagian belum tentu juga mereka pacaran, kalau itu kakak atau bahkan suaminya gimana? Gak boleh asal nuduh, nanti jadinya fitnah.” tanyaku. “Kalau suaminya kok gak pernah tahu nikahnya kapan? hayoo” jawab teman saya dengan semangat 45 menghakimi sang akhwat.
“Mending tanyain langsung ke akhwatnya, kamu ingetin gitu kalau emang jalurnya udah salah. Gimana?” timbal saya memberi solusi. “Biar gak jadi omongan dan kalau akhwatnya taubat kan kamu dapet pahala tuh, iya gak?” lanjut saya lagi.
Teman saya terdiam, dan akhirnya dia mengangguk tidak berbicara lagi.
Yang pasti saya masih ingat dengan ucapan salah satu Ustad yang sering muncul di TV.
“… Apakah ada diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya sendiri yang sudah mati? Pasti kamu jijik…” (QS. Al-Hujurat: 12).
Ayat ini memberikan perumpamaan orang yang suka menceritakan “Aib Saudaranya.”
Pengertian Ghibah sendiri adalah menceritakan aib orang lain, tidak ada alasan darurat. Semata karena ingin menyebarkan berita saja. Aib disini adalah yang fakta, karena kalau tidak fakta namanya bukan lagi Ghibah, tapi sudah Fitnah.
Banyak orang merasa kalau cerita fakta berarti bukan mengunjing. Ada lontaran kalimat, “Ini bukan mau menggunjing looh, tapi ini fakta.”
Coba saja kalau kita tengah dighibahkan oleh orang lain. Kemudian kita mendengar dari balik tembok yang tidak terlihat oleh orang yang menceritakan kita itu. Rasanya sakit sekali.
Kita umpamakan orang yang kita bincangkan adalah diri kita. Hentikan selagi ingat, jangan diteruskan! Kecuali jika kita memang ‘doyan’ makan bangkai.
Beberapa Kerugian Ghibah:
1. Hukumnya maksiat dan berdosa bagi yang suka Ghibah.
2. Memindahkan Tabungan Pahala pengghibah kepada yang di Ghibah.
3. Memindahkan Dosa yang dighibah kepada si Pengghibah.
4. Diberikan vonis oleh Allah sebagai orang yang suka memakai Bangkai daging manusia.
5. Membuang-buang waktu semantara pemborosan termasuk temannya Syaithan.
6. Merengganggkan bahkan bisa memutus tali Silaturrahiiim.
7. Dada semakin terhimpit, dunia semakin sempit, teman pergaulan semakin berkurang.
8. Lupa bermuhasabah diri sendiri karena sibuk mencari kesalahan orang lain.
9. Sulit berkembang, menuju perbaikan kerena merasa diriya selalu benar.
10. Sedikit lagi menuju fitnah jika nafsu bicara tidak terkendali, datanya tidak lengkap terus meluncur tuduhan.
Kiamat Sughra Sedemikian intensifnya. Acara hiburan memakan bangkai di televisi ini, maka menjadi budaya dan gaya hidup bangsa. Menjadi tontonan yang mengasyikan, sambil minum kopi dan snack. Tidak ada beban atau tanda-tanda berdosa diwajahnya, bahkan ikut menjadi komentator seperti pertandingan sepak bola. Nauzubillahi min dzaalik.
Yudhi Gustiawan, Subang.