DI BALIK pasangan yang hebat ada cinta yang kuat. Mungkin itulah kalimat yang pas bagi pasangan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dan Dewi Siti Kaltsum. Dua sejoli yang mengalami pasang surut dalam penegakan Darul
Islam puluhan tahun silam. Kisahnya menjadi epik bagi anak cucu Islam kelak puluhan tahun mendatang. Iya sebuah cerita cinta dari Malangbong, Garut, Jawa Barat, untuk cahaya Islam di bumi Indonesia.
Perkenalan Kartosoewirjo dengan Dewi Siti Kaltsum terjadi saat pimpinan Darul Islam itu tengah mampir ke Malangbong, Garut, tahun 1928. Kebetulan Ayahanda Dewi adalah Ardiwisastra, salah seorang Ulama, Ajengan, dan Tokoh Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) ternama di Garut. Niat Kartosoewirjo menyambangi kediaman Ardiwisastra semata-mata mengumpukan dana bagi keberangkatan KH. Agoes Salim ke Belanda demi berdiplomasi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Dewi, kembang Malangbong yang kala itu tengah mengarungi masa dewasa, melihat sosok laki-laki yang berbeda mengetuk pintu rumahnya. “Siapa ia?” tanya Dewi dalam hatinya. Laki-laki itu bagi Dewi tidak seperti laki-laki pada umumnya. Kartosoewirjo pandai bicara, namun bukan gombal. Pengetahuannya tentang Islam juga tidak datar. Orang yang mendatangi ayahnya pasti bukan orang sembarangan.
Kala itu, Kartosoewirjo tengah menjabat Sekretaris Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Pada Desember 1927, Kartosoewirjo terpilih sebagai Sekretaris Umum Partai Sarekat Islam Indonesia-sebelumnya masih bernama Partij Sjarikat Islam Hindia Timoer. Sejak itu, ia banyak melakukan perjalanan ke cabang-cabang Sarekat Islam di seluruh Nusantara.
Dewi pun mulai tahu aktivitas Kartosoewirjo yang penuh dengan dunia gerakan. Maklum saat itu Dewi mulai berkecimpung dalam bidang penuh resiko tersebut. Darah pergerakan turun dari sang ayah yang terkenal gigih melawan Belanda dengan semangat perlawanan terhadap Imperialisme Barat.
Dewi amat terkesan dengan sikap hidup sang ayah. Pada usia delapan tahun, ibunya sudah mengajaknya berjalan kaki belasan kilometer ke Tarogong, Garut, untuk menengok ayahnya yang ditahan Belanda. Dan itu amat membekas dalam hatinya.
Ardiwisastra ditahan Belanda karena bersama sejumlah ajengan memelopori pembangkangan terhadap perintah Belanda, yang mewajibkan penjualan padi hanya kepada pihak penjajah. Pada 1916, Belanda menembak mati Haji Sanusi, tokoh berpengaruh di Cimareme, Garut. Terjadi pula penangkapan secara besar-besaran terhadap para ajengan, termasuk Ardiwisastra dan santri-santrinya.
Setahun setelah pertemuan itu, pada April 1929, Kartosoewirjo resmi menikahi Dewi di Malangbong. Ardiwisastra, sang mertua sendiri, sama sekali tidak melihat sang menantu dari fisik. Akhlak dan kejujuranlah yang tampaknya membuat Ardiwisastra menjodohkannya dengan sang putri yang kala itu menjadi kembang desa di Malangbong.
“Apakah calon menantunya tampan atau buruk muka tidak penting,” kata Ardiwisastra kepada Pinardi, penulis buku Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo terbitan 1964.
Rupanya Dewi pun menyatakan hal serupa. Secara jujur, ia tidak menjadikan wajah sebagai prasyarat pinangan sang Imam diterima, “Kalau disebut karena cinta, Bapak itu sebetulnya orangnya (mukanya) kan jelek,” tutur Dewi lugu kepada majalah Tempo, tahun 1983.
Rupanya Dewi tidak salah pilih. Ia mengaku mendapatkan selaksa cinta yang tinggi dari suaminya. Laki-laki soleh yang menyerahkan segala hidupnya demi Islam. Laki-laki penuh sahaja yang dikenal sebagai biduk kasihnya sepanjang masa. Dengarlah tuturan Dewi berikut ini:
“Aku memang tidak salah pilih. Disinilah aku mulai mengenal dan belajar tentang sikap dan sifat suamiku. Ia ternyata seorang laki-laki yang penuh tanggung jawab pada keluarganya dan menyayangiku. Ia tak segan–segan memperkenalkanku, istrinya yang dari kampung dengan kawan-kawan seperjuangannya yang terpelajar dan terhormat.
“Bahkan dua bulan setelah kami berada di Jakarta, mungkin atas prakarsa teman-temannya, perkawinan kami dirayakan di rumah Pak Cokroaminoto. Aku ingat benar pesta yang sederhana tapi amat mengesankan itu ber-langsung pada tanggal 12 Zulhijjah. ”
Sebagai seorang aktivis partai dengan jabatan Sekjen PSII, hari-hari Kartosoewirjo sangatlah sibuk. Namun demikian, kepentingan keluarga tak pernah diabaikannya. Ia faham posisinya sebagai kepala keluarga yang dicontohkan oleh Baginda Nabi Muhammad SAW.
Oleh istrinya, Kartosoewirjo dikenal sebagai seorang lelaki yang tinggi akhlaknya, santun, dan penuh kasih sayang pada anak-anaknya. Ini pernah diutarakannya Dewi kepada Tatang Sumarsono, yang kemudian dimuat bersambung di majalah Amanah.
Pada perkembangannya, kecintaan dan keikhlasan Dewi terhadap suaminya betul-betul diuji saat mengarungi perjuangan. Dewi, anak kyai itu, berkembang menjadi istri di luar pada umumnya. Jika para pribumi yang menikah dengan Meneer Belanda biasa menikmati pesta pora beserta alunan nada. Dewi harus ikut bergerilya menghindari kejaran tentara Indonesia.
Jika para kembang Desa memilih hidup berdiam diri atas kondisi yang ada, bersama suami, Dewi malah keluar-masuk hutan demi tegaknya Syariat Islam di bumi Nusantara. Dewi sudah menasbihkan diri untuk bertahan diliputi rasa takut semata-mata pengabdian besar seorang istri terhadap sang suami.
Lantas, apakah kunci yang membuat Dewi bisa mempertahankan cintanya kepada Kartosoewirjo meski hidup dan mati adalah dua kata yang dekat kepadanya? Yang mau hidup penuh kesederhanaan walau sang ayah terkenal sebagai ningrat di Jawa Barat? Adalah pendidikan agama, kunci kekuatan Dewi untuk tidak mengeluh dan tetap sabar meski hidup penuh kesederhanaan.
“Akibatnya, kami memang tak punya rumah tetap, pindah dari rumah sewa ke rumah sewa lainnya. Tapi aku sendiri tidak mengeluh. Sebagai istri yang mendapat pendidikan agama cukup lekat dari orangtua, kuterima segalanya dengan rasa syukur. Karena itulah, boleh jadi kehidupan keluarga kami berjalan tenang, kalau tidak dikatakan bahagia,” aku Dewi.
Bersama Kartoesowirjo, Dewi melahirkan 12 anak. Lima di antaranya meninggal. Tiga anak terakhir: Ika Kartika, Komalasari, dan Sardjono, lahir di tengah hutan. Anak-anak yang lain lahir di rumah.
Mereka: si sulung Tati yang meninggal ketika masih bayi, Tjukup yang tertembak dan meninggal pada 1951 di hutan pada usia 16 tahun, Dodo Muhammad Darda, Rochmat (meninggal pada usia 10 tahun karena sakit), Sholeh yang meninggal ketika bayi, Tahmid, Abdullah (meninggal saat bayi), Tjutju yang lumpuh, dan Danti.
Sebagai perempuan, Dewi mulanya takut hidup di hutan. Kala itu Dewi sudah menggendong Danti yang baru berusia 40 hari. Dewi sempat berpikir tentang masa depan anak-anaknya. Gurat kesedihan mulai timbul dalam sekat wajahnya meratapi impian tak sesuai kenyataan. Namun, sosok Kartosoewirjo lah yang setia berada disampingnya, untuk menghibur, meyakinkan, dan “menggenggam kuat jemari di tangannya”. Dan Dewi langsung merasa tenteram.
Sebelum menjalani eksekusi mati, Kartosoewirjo sempat berwasiat di hadapan istri dan anak-anaknya di sebuah rumah tahanan militer di Jakarta. Menurut Dewi, saat itu Kartosoewirjo antara lain berkata tidak akan ada lagi perjuangan seperti ini sampai seribu tahun mendatang. Dewi menitikkan air mata. Kartosoewirjo, yang mencoba tabah, akhirnya meleleh. Perlahan-lahan, dia mengusap kedua matanya.
Betapa besar cinta Kartosoewirjo kepada istrinya. Ia menangis di depan istrinya, bukan ia kalah terhadap rezim sekuler yang mencoba membunuhnya, bukan jua menyesal atas perjuangannya yang meski meminta taruhan nyawa, namun air mata itu adalah bukti cinta Kartosoewirjo yang besar kepada sang istri, ya kembang Malangbong yang senantiasa menemaninya meski hidup penuh onak dan duri.
Air mata Dewi semakin jatuh. Ia menangis sejadi-jadinya. Rasa bangga bercampur haru meliputi hatinya memiliki sosok suami seperti Kartosoewirjo yang tetap meyakinkannya tentang arti cinta sebenarnya: Cinta kepada Allahuta’ala, karena dunia hanyalah persinggahan sementara.
Cinta mereka akhirnya harus usai. Mereka dipisahkan oleh timah panas ketika aparat keamanan menangkap Kartosoewirjo setelah melalui perburuan panjang di wilayah Gunung Rakutak, Jawa Barat dan menghukum matinya pada September 1962.
Dewi pun menyusul cinta sejatinya itu pada tahun 1998. Lahir pada 1913, ia wafat dalam usia 85 tahun. Bersebelahan dengan makam Dewi adalah kuburan Raden Rubu Asiyah, ibundanya, perempuan menak asal Keraton Sumedang, Jawa Barat.
Namun pepatah “cinta sejati akan dibawa sampai mati” memang betul adanya. Di pemakaman ini Kartosoewirjo masih memendam cinta, cintanya kepada sang istri yang telah menemaninya puluhan tahun baik suka maupun duka. “Bapak ingin jenazahnya dekat dengan keluarga Malangbong,” kata Sardjono, anak bungsu Kartosoewirjo.
Inilah kisah cinta sejati yang tertutup di tengah pemberitaan miring tentang NII pasca dibonceng oleh gerakan NII KW IX. Semoga Allah mempertemukan mereka kembali di jannah kelak. [pizaro/islampos]