pertanyaan:
Bagaimana hukum menggauli istri yang sudah suci dari haid tapi belum mandi besar? Apakah Haram? Bagaimanakah kaffarotnya?
Nur H - Tuban
Jawaban:Haram hukumnya menyetubuhi (men-jima') istri yang sudah selesai haid (darah sudah berhenti) tapi belum mandi Junub untuk menghilangkan hadats besarnya. Hal ini terhitung dosa karena melanggar perintah Syara', dan tidak ada kaffaroh tertentu sehingga penebus dosanya adalah memperbanyak Istighfar dan beramal shalih secara umum.
Larangan mensetubuhi istri yang telah berhenti haid tapi belum mandi Junub didasarkan pada Firman Allah berikut ini; {وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ } [البقرة: 222]- Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, hingga mereka suci. apabila mereka telah bersuci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (Al-Baqoroh; 222)
Dalam ayat di atas Allah memerintahkan para lelaki untuk menjauhi wanita (baik istri maupun budak perempuan) di masa haidnya. Maknanya, mensetubuhi mereka dalm kondisi haid hukumnya haram. Kemudian Allah menegaskan larangan tersebut dengan memerintahkan agar tidak mendekati mereka hingga telah menjadi suci. Setelah suci dan mereka melakukan aktivitas bersuci, maka mereka baru boleh disetubuhi. Jadi, berdasarkan ayat ini ada dua syarat kebolehan mensetubuhi wanita setelah masa haid; pertama: darah haid telah berhenti, kedua: bersuci dengan mandi Junub /mandi besar. Syarat yang pertama dinyatakan dalam lafadz:
وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ- dan janganlah kamu mendekati mereka, hingga mereka suci
sementara syarat yang kedua dinyatakan dalam lafadz: فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ apabila mereka telah bersuci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu
Perbedaan dua lafadz ini menunjukkan perbedaan dua hal yang berbeda. Berhentinya darah haid adalah mekanisme tubuh yang bersifat alami sehingga diungkapkan dengan lafadz
حَتَّى يَطْهُرْنَ (hingga mereka suci) sementara bersuci dengan cara mandi Junub adalah perbuatan Mukallaf yang diungkapkan dengan lafadz
فَإِذَا تَطَهَّرْنَ (apabila mereka telah bersuci). Yang lebih menguatkan adalah lafadz lanjutan ayat yang berbunyi:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri
Lafadz ini menunjukkan bahwa aktifitas Tathohhur/
التَّطَهُّرُ adalah perbuatan Mukallaf yang disengaja dilakukan seorang hamba sehingga makna yang lebih dekat dengan maksud Syara' adalah suci dari Hadas besar yakni dengan cara melakukan mandi Junub .
Adapun pendapat yang menafsirkan Tathohhur/
التَّطَهُّرُ bermakna Wudhu untuk Shalat, maka pendapat ini masih sulit diterima, karena Wudhu tidak menghilangkan Hadas besar dan tidak mendapatkan penguatan dari Nash atau penjelasan shahabat. Termasuk pendapat yang menafsirkan Tathohhur/
التَّطَهُّرُ sekedar membasuh kemaluan, maka pendapat ini lebih sulit lagi diterima daripada pendapat sebelumnya karena pemaknaan Nash, hukum asalnya harus dengan makna Syar'i sebelum makna bahasa.
Lafadz Sholat dalam Al-Quran, harus dimaknai dengan makna Syar'i, yakni perbuatan yang diawali Takbir dan diakhiri Salam, bukan makna bahasanya yang bermakna doa. Makna bahasa dipakai jika makna Syar'i tidak ditemukan dan makna urfi juga tidak didapatkan. Makna Syar'i Tathohhur/
التَّطَهُّرُ adalah bersuci dari Hadas. Dalam konteks Hadas besar, maka makna Syar'i bersucinya adalah mandi besar atau Tayamum (dalam kondisi tidak menemukan air, atau ada udzur) sebagaimana firman Allah;
{
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا} [المائدة: 6]- "Jika kalian sedang Junub maka bersucilah" (Al-Maidah; 6)
Jadi, wanita yang telah selesai haidnya belum boleh disetubuhi sebelum melakukan mandi Junub sebagaimana wanita yang telah berhenti dari haid belum boleh shalat sebelum mandi Junub.
Dua syarat kebolehan mensetubuhi wanita setelah selesai masa haidnya ini seperti syarat penyerahan harta pada anak yatim dalam ayat berikut ini;
{
وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ } [النساء: 6]- Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya (An-Nisa'; 6)
Artinya; harta baru diserahkan kepada anak yatim setelah terealisasi dua hal; pertama; Sudah memasuki usia baligh, dan kedua; anak yatim sudah memiliki Rusyd/kompetensi mengelola harta. Jadi selama dua syarat ini belum terpenuhi semua, misalnya hanya terpenuhi salah satu saja, atau belum terpenuhi dua-duanya, maka penyerahan harta tersebut belum boleh dilakukan.
Yang mirip pula dengan hal ini adalah syariat menikah bagi wanita yang sudah di talak tiga. Allah berfirman;{ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ} [البقرة: 230]- Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah (Al-Baqoroh; 230)
Maknanya; Wanita yang telah ditalak tiga boleh menikah lagi dengan suami pertama jika telah terealisasi syarat: menikah lagi dengan lelaki lain dan lelaki lain itu menceraikannya. Jika syarat-syarat tersebut belum terpenuhi, atau terpenuhi tetapi belum lengkap sempurna maka wanita tersebut dilarang untuk menikahi suami pertamanya.
Penafsiran ayat tentang dua syarat kebolehan mensetubuhi wanita yang tekah selesai haidnya adalah penafsiran yang dinyatakan Ibnu Abbas sebagaimana dinukil ibnu Katsir dalam tafsirnya, yang menurut Ahmad bin Muhammad Al-Marrudzy adalah hukum fikih yang beliau tidak mendapati Ikhtilaf di dalamnya. Namun, diketahui ada sejumlah ulama yang berpendapat berbeda seperti Abu Hanifah, Yahya bin Bukair, Ibnu Hazm dll.
Terkait Kaffaroh, tidak ada Nash khusus yang menjelaskan Kaffaroh pelanggaran ini. Kerena itu, penebusan dosa kembali pada ketentuan asalnya yakni memperbanyak Istighfar dan melakukan amal shalih sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya. Adapun riwayat Kaffaroh bersedekah sebanyak satu dinar atau setengah dinar, misalnya riwayat berikut;
سنن أبى داود - م (1/ 109) عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِذَا وَقَعَ الرَّجُلُ بِأَهْلِهِ وَهِىَ حَائِضٌ فَلْيَتَصَدَّقْ بِنِصْفِ دِينَارٍ »- Dari Ibnu Abbas dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Apabila seorang suami menggauli istrinya dalam keadaan haidl, maka dia harus bersedekah setengah dinar" (H.R. Abu Dawud)
Maka riwayat ini adalah riwayat Mauquf, bukan Marfu' sehingga masih belum bisa dijadikan hujjah kaffaroh. Lagipula konteksnya adalah dosa mensetubuhi istri saat haid sementara yang dibahas di sini bukan istri yang sedang/saat haid tetapi istri yang telah selesai haid namun belum mendi Junub untuk menghilangkan Hadas besarnya. Wallahua'lam.
Oleh:
Ust. Muhammad Muafa, M.Pd Pengasuh Pondok Pesantren IRTAQI, Malang-Jawa Timur
Pertanyaan Kirim Ke: redaksi@suara-islam.com