|
kluarga sakinah ilustrasi |
Memang menikah itu indah, nikmat dan penuh barokah. Aku mengenalnya saat ta’aruf 3 tahun yang lalu. Saat ku putuskan dan ku bulatkan tekad untuk menikah. Orang tua ku yang pertama kali ku minta restunya. Lalu Murobbiku tentu yang kedua. “pak, bu, ustadz aku siap menikah tahun ini” begitulah kira-kira kalimat sederhana yang dapat menyimpulkan seluruh ekspresi hati saat ingin menikah.
Beberapa proposal ku terima. Namun tekadku bulat, proposal pertamalah yang akan ku proses, siapapun dia, dari manapun dia, bagaimanapun dia, apapun sukunya, setinggi apapun pendidikannya, apapun warna kulitnya, bisa masak atau tidak, itu semua tak penting bagiku, , terpenting bagiku asalkan ia wanita yang sholehah, tertarbiyah dengan baik, maka itu sudah lebih dari cukup bagiku.
Ku buka proposal pertamaku itu dengan hati bergetar, jantung berdegup lebih cepat, tangan membasah dan….ku baca biodata itu, ku lihat foto yang dilampirkannya. Subhanallah…inikah
bidadari yang akan mendampingi hidupku?? Wanita ini terlalu baik untuk ku, ia memiliki kelebihan dari berbagai sisi, dari aktivitas dakwahnya, dari pendidikannya, dari keturunannya, serta dari fisiknya. Semuanya begitu sempurna di mataku. Aku ragu dengannya, ada jarak seolah memisahkan. Aku lelaki sederhana harus mendampingi seorang putri bangsawan?? Namun Allah tahu yang terbaik untuk hamba-Nya, termasuk paling tahu yang terbaik untuk-Ku.
Allah mentakdirkan aku berjodoh dengannya. Kami menikah dengan konsep Islam tentunya. Berharap barokah menyelimuti kami dan seluruh keluarga dan handai taulan tentunya. Serta kawan sejawat yang menghadiri pernikahan kami.
Hari-hari pasca pernikahan kami lalui bersama, ada tawa, ada canda, ada tangis, ada diam menyelimuti rumah tangga kami. Ada marah terpendam, ada kesal, namun kasih sayang jauh lebih besar dan membuat kami terus belajar satu sama lain. Dan membuat kami tersadar pernikahan itu menyatukan dua insan yang berbeda watak dan karakternya. Ada sesuatu yang ku anggap remeh namun tidak bagi istriku, bahkan itu teramat penting baginya, begitu juga dengan istriku, ada sesuatu yang ia anggap biasa saja, namun bagiku itu hal yang besar dan amat berarti bagi ku. Kami saling belajar, saling memahami, saling menambal kekurangan, saling menguatkan. Hingga cinta kami terus tumbuh dan tumbuh sepanjang waktu.
Setahun menikah kami tak lagi berdua, ada Rafah bersama kami. Putra pertama kami, buah cinta suci kami. Pada episode ini aku mencintai istriku kian merekah, karena perjuangannya sebagai seorang istri dan ibu yang luar biasa, membuat aku tak mau pergi meninggalkannya. Ia telah memberiku seorang putra yang lucu, tampan, sholeh dan cerdas. Aku makin mencintainya.
Istriku semakin cantik kian hari, anak ku lewat rahimnya kian menggemaskan, saat kerja aku rindu mereka, aku rindu manjanya anak ku, tangis dan tawa Rafah, lari-larinya, saat jatuh suatu kali, saat minta disuapin waktu makan, saat minta digendong, minta dibuatkan susu, saat minta dibersihkan pipis dan tinjanya, saat minta diajarkan ini itu, termasuk huruf2 hijaiyaah dan latin. Alhamdulillah anak ku Rafah perkembangannya cukup bagus.
Usia satu tahun setengah ia sudah bisa menghafal dan mengenal huruf hijaiyah dan latin, mengenal banyak benda dan kosa kata, mengenal beberapa hewan dan alat transportasi, mengerti bahasa inggris dan arab untuk beberapa kosa kata, menghafal beberapa surat dan lagu-lagu islami serta lagu umum. Ia mudah mengingat dan menghafal. Generasi yang dilahirkan dari rahim istriku. Semakin bertambah rasa cinta ku pada istriku. Aku tak mau meninggalkannya hari ini hingga kapan pun.
Hari ini istriku kembali berjuang mempertaruhkan nyawanya melahirkan anak kami yang kedua. Ku seka air matanya saat suntikan jarum penurun darah tinggi menyebabkan rasa sakit menyelimuti sekujur tubuhnya. Aku tak merasakan sakit, namun aku merasakan penderitaan yang begitu dalam yang sedang dilaluinya. Istriku menangis, aku seka air matanya dengan jemariku. Saat suntikan penurun darah tinggi kembali akan disuntikan, Istriku melirih “sakit banget bi…seluruh darahku panas, rasanya seperti sakaratul maut bi..” aku bergumam ya Allah baru ku tahu memperjuangkan si bayi begitu susah dan menderitanya…”umi yang sabar dan kuat ya, terus berdzikir, insyaallah umi sedang melahirkan seorang mujahid dakwah” istriku tetap menangis.
Dan aku menahan air mataku. Istri ku tetap menangis, ibu dan adik ku datang untuk menemani istriku, aku pun berlalu pergi kesudut ruang rumah sakit itu. Ku bersimpuh setelah ku tunaikan 2 rakaat. Ku berbincang pada-Nya. Ya Allah kuatkan dan jaga kedua kekasihku, istri dan calon anak ku. Selamatkan dan sehatkan keduanya. Tangisku memecah keheningan musholla.
Aku menunggunya diluar ruang operasi, harap cemas menyelimuti jiwaku. Aku terus berdo’a pada Yang Kuasa, penentu segalanya. Agar semua berjalan sempurna tanpa kurang sedikit pun. Akhirnya saat yang dinanti pun tiba. Suara keras tangis bayi memecah kegelisahanku. Alhamdulillah..putra ku sudah lahir. Dan istriku pun sehat tiada kurang sedikitpun.
Aku memandangnya saat ia menggendonng putera keduanya. Aku tersenyum padanya, hatiku berkata “aku sayang kamu istriku, aku bangga memilikimu, kamu terlihat kian cantik, aku berjanji padamu…”istriku, aku takkan selingkuh”
(
Abu Rafah )