Terkadang seseorang mengucapkan kata-kata yang dia kira itu hanyalah kata-kata yang ringan dan sepele padahal perkataan tersebut merupakan sesuatu yang bisa mendatangkan murka Allah ta’ala. Sehingga, bisa jadi seseorang dilemparkan ke dalam api neraka karena ia tidak mau berhati-hati dengan perkataannya. Nabi shallallhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَ إِنَّ العَبْدَ لَيَتكلَّمُ بالكَلِمَةِ مِنْ سُخْطِ اللهِ لا يُلْقي لَهَا بالاً يَهوى بها فى جَهَنَّمَ “Sungguh seseorang mengucapkan satu kalimat yang mendatangkan kemurkaan Allah, namun dia menganggapnya ringan, karenanya dia dilemparkan ke dalam api neraka”. (HR. Bukhari no. 6478 dalam Kitabur Riqaq, Bab “Menjaga Lisan”)
Perkataan ‘seandainya’ Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلا تَعْجِزَنَّ , وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلا تَقُلْ : لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَذَا لَكَانَ كَذَا وَ كَذَا , وَلَكِنْ قُلْ : قَدَرُ اللهِ وَ مَا شَاءَ فَعَلَ , فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ “Bersungguh-sungguhlah dalam hal-hal yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah (dalam segala urusan), serta janganlah sekali-kali kamu bersikap lemah. Jika kamu tertimpa sesuatu (kegagalan), maka janganlah kamu mengatakan, ‘seandainya aku berbuat demikian, pastilah tidak akan begini atau begitu’. Tetapi katakanlah, ‘ini telah ditakdirkan oleh Allah dan Allah berbuat sesuai dengan apa yang dikehendaki’. Karena sesungguhnya perkataan seandainya akan membuka (pintu) perbuatan setan”. (HR. Muslim no. 2664)
Maksud dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya perkataan seandainya membuka (pintu) perbuatan setan adalah karena di dalam kata-kata seandainya menunjukkan adanya kesedihan yang mendalam dan mencela terhadap takdir Allah ta’ala ketika seseorang tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkannya. Sedangkan sikap yang demikian ini meniadakan sikap sabar dan ridha terhadap takdir Allh ta’ala. Padahal, sebagaimana yang sudah diketahui bahwa sabar hukumnya wajib. Dan begitu juga dengan iman kepada takdir Allah, hal ini juga merupakan kewajiban bagi setiap orang.
Allah ta’ala berfirman,
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيْبَةٍ فِي الأَرْضِ وَلا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيْرٌ # لِكَيْلَا تَأْسَوْهَا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوْا بِمَا ءَا تَكُمْ وَاللهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَا لٍ فَخُوْرٍ # “Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfudz) sebelum Kami mewujudkannya, sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan tidak pula terlalu gembira dengan apa yang Dia berikan untukmu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri.” (QS. Al-Hadiid: 22-23)
Amiirul mukminin Ali radhiallahu ‘anhu berkata: “Sabar adalah sebagian dari iman, sebagaimana kedudukannya kepala terhadap badannya.” (Derajat Hasan, diriwayatkan oleh Abu Dawud (3627), An-Nasaa’i dalam Al-Kubra (1462) dan Ahmad (6/24))
- Oleh karena itulah, jika kita tertimpa suatu musibah atau sesuatu yang tidak kita harapkan, maka sepantasnya bagi kita adalah bersabar dan menerima terhadap apa yang telah menjadi ketentuan Allah ta’ala dan tidak perlu mengatakan, “seandainya tadi aku tidak melakukan hal ini, tentulah kejadiannya akan berbeda” atau kata-kata yang semisalnya.
- Karena meskipun kita mengatakan “seandainya begini atau begitu, maka tidaklah akan terjadi hal ini”, ucapan ini tidak akan menyebabkan apa yang telah hilang dari kita bisa kembali lagi. Dan perlu diketahui bahwa perkataan yang seperti ini juga tidak akan menyelesaikan masalah yang ada. Bahkan hal ini justru bisa menambah kesusahan dalam jiwa.
Pembagian Kata Seandainya Syaikh As-Sa’diy dalam Al Qoulus-Sadiid menjelaskan bahwa ucapan seandainya terbagi menjadi dua macam, yaitu Tercela dan Terpuji. Perkataan Seandainya yang Tercela Perkataan seandainya tercela jika diucapkan ketika seseorang tertimpa suatu musibah atau sesuatu yang tidak disukai oleh dirinya. Lalu dia mengatakan, ‘Seandainya aku berbuat begini, pastilah kejadiannya tidak akan seperti ini’. Maka perkataan “seandainya” yang seperti inilah yang terlarang. Karena dalam perkataan ini terdapat dua hal yang perlu untuk diwaspadai. Yaitu,
- Pertama, karena perkataan seperti ini dapat membuka pintu penyesalan dan kesedihan yang berkepanjangan. Sedangkan sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa kedua hal tersebut tidaklah bermanfaat dan sudah sepantasnya untuk dibuang jauh-jauh.
- Kedua, karena dalam perkataan tersebut terdapat tindakan yang tidak baik terhadap Allah ta’ala dan takdir-Nya. Karena semua perkara dan semua kejadian baik itu kecil maupun besar, semuanya terjadi berdasarkan takdir yang telah Allah ta’ala tentukan. Dan semua perkara yang telah ditentukan oleh Allah ta’ala adalah pasti terjadi dan tidak mungkin bisa ditolak. Maka, seseorang yang mengatakan “seandainya aku berbuat begini atu begitu” atau mengatakan “seandainya aku berbuat begini, pastilah kejadiannya akan lain”, seakan-akan perkataan-perkataan tersebut adalah penolakan terhadap takdir Allah ‘azza wa jalla. Dan perkataan seperti ini juga menunjukkan akan lemahnya keimanan terhadap takdir Allah ta’ala.
Oleh karena itu, tidak diragukan lagi bahwa perkataan “seandainya” perlu diwaspadai karena dapat menyebabkan keimanan dan ketauhidan seseorang menjadi tidak sempurna. Karena orang yang tidak menyukai takdir Allah ta’ala, sama saja dia dengan menolak takdir Allah ta’ala. Dan orang yang menolak takdir, sama saja dia tidak rela jika Allah ta’ala adalah sebagai Rabb. Dan siapa yang tidak rela jika Allah sebagai Rabb nya, maka orang tersebut sama saja dengan tidak merealisasikan Tauhid Rububiyyah.
Dan yang menjadi kewajiban bagi setiap orang yang beriman adalah dia rela jika Allah ta’ala sebagai pengatur dirinya. Dan ia rela dengan setiap keputusan Allah yang telah ditentukan Allah ta’ala untuk dirinya.
Perkataan “Seandainya” yang Terpuji (yang diperbolehkan) Adapun perkataan “seandainya” yang diperbolehkan (yang terpuji) adalah kata “seandainya” yang diucapkan oleh seseorang ketika ia mengharapkan suatu kebaikan. Hal ini sbagaimana perkataan seorang laki-laki ketika mengharapkan sebuah kebaikan, “seandainya aku memiliki harta semisal dengan apa yang dimiliki oleh si fulan, sungguh aku akan melakukan seperti apa yang dilakukan oleh si fulan” (laki-laki ini berharap bisa memiliki harta sebagaimana yang dimiliki oleh si fulan, sehingga ia bisa menginfakkan hartanya tersebut di jalan Allah sebagaimana yang dilakukan oleh si fulan).
Kesimpulan - Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, jika perkataan ‘seandainya’ tersebut mengandung keluh kesah, kesedihan, ketidak-relaan terhadap takdir Allah ta’ala, atau mengandung harapan untuk sebuah kejelekan, maka perkataan ‘seandainya’ dalam hal ini adalah tercela.
- Kemudian jika perkataan ‘seandainya’ tersebut mengandung cita-cita dan harapan untuk kebaikan, karena menginginkan mendapat petunjuk, ataupun karena menginginkan mendapat suatu ilmu yang bermanfaat untuk dunia dan akhiratnya, maka kata ‘seandainya’ dalam hal ini adalah sesuatu yang terpuji dan diperbolehkan.
Penutup Oleh karena itu wahai saudaraku, maka sepantasnya bagi kita untuk senantiasa menjaga lisan-lisan kita dari perkataan-perkataan yang tidak bemanfaat. Terlebih lagi jika kata-kata tersebut adalah kata-kata yang dapat mengurangi kesempurnaan iman dan tauhid.
Disamping itu, kita juga harus senantiasa bersabar atas setiap musibah yang menimpa kita. Karena sudah menjadi sebuah kepastian bahwa apapun yang telah Allah ta’ala takdirkan untuk makhluk-makhluk-Nya, maka itulah yang terbaik untuk mereka. Dan tidak diragukan lagi bahwasanya setiap keputusan Allah ta’ala untuk hamba-hamba-Nya adalah menunjukkan akan keadilan Allah ta’ala.
Mudah-mudahan yang sedikit ini bisa menjadi sebuah nasihat buat diri saya sendiri maupun orang-orang yang berkenan untuk membacanya. Semoga kita selalu menjadi orang yang senantiasa berhati-hati dalam semua ucapan dan perbuatan.
Wallaahul-muwaffiq ilaa sabiilir-rosyaad.
Alhamdulillahil-ladzii bini’matihi tatimmush-shaalihaat
Artikel
muslimah.or.idPenulis: Ummu ‘Iffah
Murajaah: Ustadz Ammi Nur Baits Maraji’: - Al-Irsyaad ilaa shahiihil-I’tiqaad, Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Daarush-Shohaabah.
- Al-Qaulul Mufiid ‘alaa kitaabiit-tauhiid, Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin, Daaruts-Tsarooya lin-nasyr
- Al-Qaulus-Sadiid fii Maqaashidit-Tauhiid, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy, Daarul Aqiidah.
- Fathul majiid syarh kitaabit-tauhiid, Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Aalu Syaikh, Daarul kutub Al-‘Ilmiyyah.
- Mulakhkhosh fii Syarh kitaabit-tauhiid, Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Daarul-‘Aashimah (Maktabah Syamiilah).
- Mutiara Faidah Kitab Tauhiid, Abu Isa Abdullah bin Salam, Pustaka Muslim.