Assalamualaikum ya ustadz…. Ana tertarik dengan tulisan tulisan antum sejak dulu, dan akhirnya Ana terpaksa pula harus mencurahkan semua hal yang menimpa Ana beberapa bulan terakhir ini.
Empat bulan lalu Ana menikahi seorang gadis perawan dan sebelum menikah Ana pernah mempertanyakan kesuciannya. Dia bersumpah masih perawan. Namun ternyata Ana mendapati dia tidak lagi perawan. Ana diam dan tidak menghiraukannya pada saat malam pertama, karena alasan ingin menguji kejujurannya. Dua bulan kemudian Ana mendapati sms di ponselnya yang berasal dari kiriman mantan pacarnya. Kesempatan itu Ana jadikan jalan untuk mempertanyakan lebih jauh tentang kejujurannya. Tanpa diduga, dia jujur mengakui semua perbuatannya tempo dulu. Ketika Ana bilang kenapa tidak jujur padahal pada saat bertanya Ana jelas-jelas bilang, “Kamu perawan atau tidak itu bukan masalah tapi aku ingin kejujuran kamu….” Dia cuma jawab, “Maaf, aku takut kamu ninggalin aku….”
- Pertanyaan Ana: Apa yang harus Ana lakukan sekarang, sebab kebohongan yang dia lakukan telah menyebabkan Ana “sakit” secara psikis, kadang Ana jijik jika terbayang dia diperawani orang lain.
Lalu bagaimana menurut pandangan hukum Islam tentang istri yang telah membohongi suaminya tentang masalah keperawanan?
Penting bagi Ana ya ustadz.., mohon kiranya ustadz dapat segera menjawab masalah Ana.
Terima kasih, wassalamu’alaikum.
Hamba Allah-bumi Allah
Wa ‘alaikumussalaam warahmatullaahi wabarakaatuh Sekali lagi, kita menemukan sebuah hikmah dari sabda Nabi –shollallohu ‘alaihi wa sallam–,
تُنْكًحُ اْلمَرْأَةُ ِلأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالهِاَ وَلِدِيْنِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ Tunkanhu Almaratu Ilarba'in Limaliha Walihasabiha Walijamalhiaa Walidiyniha Fadhfar Bidzati Al-D'diyni Taribat Yadaka
“Wanita itu dinikahi karena empat, karena kecantikannya, karena keturunannya, karena kekayaannya dan karena agamanya. Menanglah dengan memilih agamanya, maka “taribat yadaaka” (dirimu akan selamat dari cela).” [Arti “Taribat Yadaak”, adalah bersentuhan dengan bumi. Itu merupakan bahasan kiasan yang artinya: membutuhkan. Ungkapan itu berwujud berita, tetapi artinya sebagai perintah. Lihat Fathul Bari IX : 38 - 39]
Agama menegur kita agar memilih wanita karena
“agamanya”, hanya dengan itu kita selamat. Kejadian bahwa seorang perempuan berdusta dengan keperawanannya demi meraih cinta seorang pria adalah gambaran buruk dari kualitas agamanya. Karena buruk agamanya, maka wajar bila ujungnya adalah derita.
Akhi (saudaraku-red), mari kita renungi sama-sama persoalan yang Akhi hadapi dengan hati dingin, pikiran tenang dan pencermatan terhadap realitas ajaran Islam secara teduh. Gambaran kebenaran itu niscaya akan terpapar jelas di depan mata kita bersama.
Akhi, bila syarat dan rukun menikah telah terpenuhi, pernikahan sah secara hukum syariat. Maka, pernikahan seorang muslim dengan muslimah yang pernah berzina sekalipun, hukumnya sah secara syariat, di luar apakah secara kepantasan diperbolehkan atau tidak. Yang terpenting, secara hukum pernikahan kalian berdua sah sebagai pasutri. Tapi tersisa persoalan lain yang klasik dalam soal akad atau transaksi, yaitu kecurangan.
Akad pernikahan itu identik dengan transaksi. Dua orang yang bertransaksi secara sah, dan selesai melakukan transaksi, tidak lantas transaksi itu bisa berjalan mulus, bila terjadi kecurangan salah satu pihak. Bila kecurangan itu terbukti, seperti adanya cacat barang yang disembunyikan atau lazim disebut sebagai tadlis, maka pihak lain berhak melakukan pembatalan atas transaksi tersebut. Namun bila ia rela, transaksi bisa terus berlanjut, dan pihak yang bersalah harus bertaubat kepada Allah. Sederhana bukan?
Ya. Dalam ukuran hukum, memang sesederhana itu. Tapi menikah bukanlah berdagang. Menikah adalah upaya mempersatukan dua sosok berbeda jenis untuk membangun sebuah rumah tangga yang bahagia (samara).
Maka, saya sering menegaskan, jangan mengukur segala hukum hanya dengan sah atau tidak sah saja. Menikahi wanita ahli kitab, Nasrani atau Yahudi secara hukum juga sah, tapi siapa pula yang ingin menanggung akibatnya kalau juga bukan karena benar-benar terpaksa? Sedangkan menikahi wanita muslimah saja tetap harus dengan menimbang kualitas agamanya, apalagi dengan non muslimah.
Itu hanya sekadar contoh, hukum tak boleh dipandang hanya dari sudut sah atau tidak sah saja. Apalagi di balik pernikahan ada sisi-sisi lain sebagai konsekuensinya: kebahagiaan rumah tangga dan lain sebagainya. Dengan siapa kita menikah, akan sangat menentukan hasil yang kita capai di berbagai sisi interaktif tersebut.
Sekarang, akad itu sudah terikat, ini yang menjadi inti persoalannya. Maka yang wajib Akhi lakukan adalah meneliti secara cermat, apakah istri Akhi betul-betul telah bertaubat. Jangan tanyakan itu, karena yang dibutuhkan bukanlah jawaban lisan, cukup perhatikan kehidupan sehari-harinya. Bila belum terlihat, cobalah dekatkan dia dengan nilai-nilai agama, ajarkan dia untuk menjaga shalat, rajin membaca Al-Quran –bila sudah bisa–, ajarkan ibadah-ibadah sunnah.
Bila ia menyambut baik bimbingan tersebut, pejamkanlah mata, tekan rasa sakit dalam hati, karena taubat itu menghapus segala kekurangan di masa lampau. Bukankah sebagian para sahabat Nabi –shollallohu ‘alaih wa sallam– juga menikah beberapa wanita muslimah yang sebelum Islam pernah menjadi pelacur di kompleks pelacuran milik Abdullah bin Ubayy bin Salul yang tersohor itu? Bila mereka memikirkan bagaimana istri-istri mereka dahulu, tentu pahit. Tapi, apalah gunanya menyesali dan membayangkan masa lampau? Taubat sudah menghapuskan segalanya.
Bila rasa sesal dan kecewa itu masih mengendap dalam hati –dan itu sangatlah manusiawi–, maka pandanglah itu sebagai pelajaran dari Allah untuk menunjukkan keluhuran agama-Nya, bahwa perintah Allah agar kita mengutamakan bagusnya agama calon pasangan kita adalah kebenaran mutlak yang tak dapat kita sangkal. Maka, jangan buat penyesalan itu menjadi tak berguna. Jadikan itu sebagai batu loncatan menuju karunia Allah yang masih terbentang di depan mata. Kuncinya sangatlah sederhana.
Banyak orang berpikir, istri shalihah harus selamanya berupa anugerah paket wanita muslimah yang sudah siap guna. Artinya, ketika menikah sudah ia dapati calon istrinya sebagai wanita shalihah. Tapi persoalannya, tak selamanya kita memperoleh semua yang kita sukai, maka belajarlah untuk menyukai semua yang kita peroleh.
Bila tak mendapatkan barang siap guna, kenapa tak berusaha mencetak barang itu sendiri dengan kemampuan kita? Istri shalihah bisa ditempa dalam rumah kita sendiri. Betapa banyak wanita yang tampak biasa-biasa saja sebelum menikah, atau bahkan memiliki setumpuk masa lalu yang kelam soal hubungan antara dirinya dengan Allah, tapi setelah menikah ia mampu menempa diri menjadi wanita shalihah.
Maka, berbasis pada perintah Allah, “Dan bertolong-tolonganlah atas dasar kebajikan dan ketakwaan, jangan bertolong-tolongan atas dasar dosa dan pelanggaran…”
Cobalah untuk membina diri dan bersamaan dengan itu membina istri menjadi wanita yang shalihah. Ciptakan nuansa taubat dalam diri kalian berdua. Basahi malam kalian dengan air mata taubat dan penyesalan di hadapan-Nya. Mulailah membuka jalan baru menuju kehidupan yang lebih tertata, terbina, dan lebih mampu mengangkat harkat kalian berdua menjadi insan-insan yang sungguh-sungguh bertakwa.
Itu bila Akhi memiliki cukup motivasi dan sokongan moral serta ketabahan untuk mencari jalan yang terbaik. Semua itu bergantung pada kalian sendiri. Bila tidak, Akhi tentu memiliki pilihan lain untuk berpisah, karena “kecurangan” itu sudah bisa menjadi alasan sah untuk membatalkan tali pernikahan kalian berdua. Tapi –bagi saya pribadi–, kalau kalian berdua masih bisa menempuh jalan untuk meraih kebahagiaan surga bersama-sama, kenapa tak dilakukan?
Akhi berhak untuk sakit hati, tapi kenapa tak memilih memaafkan? Bukankah Abu Bakar pernah merasa begitu sakit hati karena telah menolong seorang muslim, tapi si muslim malah ikut andil menfitnah putrinya? Bukan sembarang putri, tapi putri yang sudah menjadi salah seorang Ummahatul Mukminin, Aisyah –rodhiyallohu ‘anha–. Tapi, Al Quran mengajarkan beliau untuk memaafkannya, tak usah tindakan orang itu membuatnya memutuskan santunan yang selama ini ia berikan kepadanya.
Akhi, memaafkan itu sungguh berat, kita menyadari itu, tapi nilainya di sisi Allah sungguh besar. Ada sebuah riwayat menceritakan tentang kisah seorang pria, sebut saja A, yang meminjam uang kepada B. Keduanya wafat, dan si A belum membayar hutangnya. Tentu saja, secara hukum, hutang itu akan dipertanggungjawabkan di jembatan ash-Shirath kelak. Di jembatan itu, A akan dihukum karena hutangnya. Lalu Allah menawarkan kepada B sebuah keindahan lain di surga yang akan dia masuki. Sebuah rumah indah, jalan-jalan berbantalkan batu-batu mulia yang memesona. Ia bertanya, “Untuk siapakah ini, wahai Rabb?”
Allah berfirman, “Untuk muslim yang memaafkan saudaranya…”
“Ya Rabbi, kumaafkan kesalahan A, kuputihkan semua hutangnya…”
Dan, keduanya pun masuk ke dalam Surga. A masuk surga karena ia dimaafkan oleh B, sementara B masuk surga dan karena maaf yang ia berikan, ia diberi tambahan kenikmatan di surga nanti! Duhai, betapa indahnya bukan?
Akhi, saran saya, maafkanlah kesalahan istri Akhi itu, bimbing ia untuk bertaubat, dan raih surga bersama-sama. Kalau ia enggan bertaubat, barulah Akhi mengambil langkah terbaik…, berpisah dengannya. Allah sudah menyiapkan jodoh yang terbaik untuk Akhi… Baarakallaahu laka, wa baaraka ‘alaika, wa jama’a bainakumaa fi khair.
Jawaban oleh Ust. Abu Umar Basyir, Rubrik Konsultasi Keluarga, Majalah Nikah Sakinah, Vol.9 No.7