Surat Maryam “Ya ukhta harun, maa kaana abuki imra’a saw’in wa maa kanat ummuki baghiyya” (wahai saudara perempuan Harun_Maryam_ ayahmu itu bukan penjahat dan ibumu bukanlah seorang pelacur). Tiap kali mendengar ayat itu, hati ini menangis. Tersayat miris. Ayat itu menceritakan bentuk makian bani israil terhadap bunda Maryam el Adzra’. Disebut el-Adzra’ artinya perawan suci. Suci dari penodaan martabat maupun eksistensi. Hakikat pribadinya baik dan terlahir dari garis keturunan orang-orang baik.
Maryam adalah sosok perempuan suci yang disucikan. Darah yang mengalir di tubuhnya, darah keturunan orang-orang shalih. Kesehariannya beribadah kepada Allah dan tidak pernah keluar dari biliknya. Bahkan setiap tindakannya di bawah pengawasan seorang Nabi, yaitu Zakaria. Betapa benteng kebaikan itu meliputi per detik tarikan napasnya.
Namun, hari besar membelah nalar dan kebiasaan manusia. Allah Ta’ala berkehendak lain. Sebuah skenario dibuat. dia ditakdirkan hamil di luar nikah. Meski tak pernah berhubungan badan sekalipun.
Dari penalaran inilah, kaumnya banyak yang menghujat. Suatu hal mustahil seorang manusia melahirkan orok tanpa seorang bapak.
Mungkin bahasa kekinian, akan digunakan kata-kata macam ini:
“Anaknya pak kyai kok hamil di luar nikah?”
“Kamu tak malu ya, mbah-mbahmu tak ada yang berbuat keji macam ini”
“mencoreng nama baik keluarga”
“Hah?! Anak pak ustadz MBA?!”
*Halah
Tafsir di ayat itu sungguh mengharu biru tiap kali kita membahasnya. Hancur sehancurnya bagi siapa saja yang mengabaikannya. Bagi saya secara pribadi, ayat itu memiliki makna filosofis yang pantas dijadikan prinsip. Minimal kita meneladani i’tibar dari kehidupan Maryam selaku muslimah sejati. Sejujurnya, bahagia dan bangga menyelimuti perasaan setiap jiwa, khususnya perempuan, ketika dirinya suci dan menyucikan. Pernahkah terbersit pertanyaan di benak, apakah orangtua kita dulu pacaran? Lalu bagaimanakah ayah saya pacarannya? Bla..bla...dan bla... sederet pertanyaan terkait asal usul yang suci dikupas.
Dengan berjalannya waktu, lambat laun sungguh bahagia ternyata tak ada kamus pacaran dalam sejarah kehidupan orangtua. Jika itu jawabannya, apakah kita bahagia? Tentu! Serasa terlahir normal tanpa sejarah kelam, setidaknya begitu. Kalau boleh sedikit beranalogi, ibaratnya seseorang akan merasa hancur ketika tahu dirinya anak jadah. Terlahir sebagai anak haram. Padahal yang haram kelakuan orangtuanya. Siapa saja pasti kecewa dan terluka begitu tahu asal muasalnya seperti itu.
Nah, sekarang dibalik, tentu kita senang jika terlahir bukan sebagai anak jadah? Demikianlah, rasa bahagia itu saya turut sharekan disini. Saya terlahir bukan hasil hubungan gelap. Ya, tentu hubungan gelap itu langsung mengarah pada hubungan pasutri diluar nikah. Atau biasa disebut kumpul kebo alias zina. Itu benar-benar ekstrim kan.
Namun, ini lebih spesifik lagi. Yaitu pacaran. Inilah korelasi antara analogi zina dengan pacaran itu. Tentu bagi Islam pacaran jelas bukan ajaran terpuji. Makanya, itu bisa disebut zina khafiy (perzinahan yang samar). Hal itu meliputi pula pacaran via layang palsu, sms, chatting, dsb. Artinya, wujud kita setidaknya diawali dengan hal-hal suci. Bukan dari cinta terlarang di mata Allah. Bukan dari noda sebelum halal. Intinya begitu.
Nah, menarik dari sejarah awal penghidupan itu, maka saya mulai diajak untuk bermain logika. Tentunya, yang pasti kelak anak-anak saya bahagia seperti apa yang saya rasakan dong? Tentu, anda setuju kan?
Oh, tentu...
Olehnya, mungkin kita semua sangat memimpikannya. Bisa mempersembahkan kesucian dan kemurnian ini, pada generasi kelak. Terutama anak-anak kita yang terlahir dari rahim sendiri. Tak kalah bahagia tentunya, bila pendamping hidup kita turut berbahagia. Bahagia mendapatkan sebuah persembahan suci, murni nan sejati.
Dari sini, kita tahu dibawa sebuah kesimpulan. Keturunan baik sangat baik jika diiringi dengan kebaikan. Sepanjang hari-harinya diupayakan dalam koridor kebaikan. Bila terlahir dari keturunan yang baik-baik, maka baik pula ketika diupayakan pelestariannya. Melestarikan budaya kebaikan itu dengan menjaga diri dan menempa jiwa untuk selalu baik. kemudian, dilanjutkan dengan istiqomah dalam kebaikan.
Olehnya dalam Ramadlan, orang baik akan berorientasi pada kebaikan yang ada pada bulan suci itu. Darah kebaikan itu memberikan signal welcome pada kebaikan pula. Inilah momen mencharge sumber kebaikan. Ibaratnya kita sebuah mobil, Ramadlan menjadi SPBU-nya untuk memfasilitasi kebutuhan bensin, yaitu spiritual kita. Agar dari hari ke hari nanti, mampu mencounter diri dan jiwa terbentengi dari godaan setan dan hawa nafsu.
Bagi kita tak ada batasnya untuk bertaubat dan selalu menambah kebaikan. Khususnya kita sebagai kaum perempuan. Pengaruh perempuan mampu menjadikan perubahan besar. Mengalami perkembangan baik, ketika optimal dalam mengembangkan potensi sebagai hamba yang shalih. Begitu pula kebalikannya, dia akan mencemarkan nama baik dunia ketika tidak berlandaskan moral dan spiritual yang mulia. Perempuan yang baik akan menghasilkan kekuatan hebat yang baik, perempuan yang jahat akan menimbulkan kejahatan yang mengular.
Dari sini, sebagai pribadi muslimah yang berdasarkan ajaran Islam mulia, mari bersatu mengokohkan kebaikan dan menebar nilai positif. Agar kelak darah nenek moyang kita yang bersih tidak tercemar. Agar kelak generasi kita bukan generasi perusak bangsa. Bulan suci saatnya mengupdate kesucian kita sedari dini. Luar dalam isinya baik, maka aura kebaikan menebar durasi kebaikan pula. Kita pun mendapatkan kebaikan itu sendiri.
Salam perempuan muslimah sejati
[Ukasah H.]
Penulis:
Young Master