Seorang lelaki tua terbaring di ranjang, berjuang menahan pedihnya sakaratul maut. Dipandanginya wajah anak-anaknya yang mengelilinginya, sedih menahan tangis. Dengan nafas tersengal sang ayah berkata, “Katakan kepadaku, bukankah aku telah melaksanakan amanah-amanahku sebagai seorang ayah dengan sebaik mungkin?”
“Ya, ayah. Engkau seorang ayah yang baik,” jawab anak-anaknya serentak.
“Aku tidak pernah mengkhianati seorang pun di antara kalian sebelum dan sesudah kalian lahir, bukan?”
“Ayah, engkau tak pernah mengkhianati amanahmu kepada kami selama kami hidup,” jawab si sulung. “Tapi bagaimana kami tahu bahwa engkau tak pernah mengkhianati kami bahkan sebelum kami lahir?”
“Bukankah sudah aku pilihkan untuk kalian seorang perempuan yang mulia yang mengandung kalian di rahimnya, melahirkan dan mengasuh kalian sampai kalian tumbuh dewasa menjadi orang-orang yang berakhlaq mulia? Seorang perempuan yang tidak akan pernah merendahkan atau menghinakan kalian?”
Kisah di atas dipetik dari kumpulan cerita Gems and Jewels karya Abdul Malik Mujahid. Pesannya jelas: seorang ibu yang shalihah akan menurunkan generasi Muslim yang terpuji.
Yang Besar dan Mulia Karena Ibu
Sejarah tak pernah luput mencatat banyak sekali kisah keshalihan seorang ibu yang melahirkan orang-orang besar dan mulia. Sebut saja Imam Bukhari, amirul mukminin dalam bidang ilmu hadits, mempunyai seorang ibu yang tak pernah putus qiyamullailnya dan dihiasi dengan tangis harap dalam do’anya. Keshalihan itulah yang membuat Bukhari kembali bisa melihat setelah mengalami kebutaan di masa kecilnya. Dan kelak lahirlah Bukhari yang kitab shahihnya merupakan buku paling benar setelah Al Qur’an.
Bahkan kisah seorang ibu shalihah yang hebat pun tertuang dalam Al Qur’an. Yakni Maryam binti Imran. Perempuan shalihah yang melahirkan seorang putra –Isa bin Maryam alayhissalam dengan perjuangan bukan saja melawan rasa sakit yang hebat, tapi juga di tengah permusuhan keras musuh-musuh agama Allah. Betapa hebatnya ibu shalihah yang satu ini, hingga kisahnya ada di surah Maryam ayat 19 dalam Al Qur’an.
Selain itu, tentu kita tak akan lupa kepada seorang ibu yang shalihah bernama Al Khansa. Ia turut terjun ke pertempuran Qadisiyyah bersama anak-anaknya yang berjumlah empat orang. Ia begitu sigap membina anak-anaknya itu untuk senantiasa istiqamah, menjaga shalat, dan selalu berdzikir kepada Allah swt. Ketika pertempuran mulai berkecamuk, ia pun meniupkan api semangat ke dalam jiwa anak-anaknya itu dengan berkata,
“Wahai anak-anakku, aku adalah ibu kalian. Demi Allah, aku tidak membinasakan ayah kalian dan tidak pula memperdaya paman-paman kalian. Jika pertempuran telah tiba, segeralah kalian maju, songsonglah dengan penuh keberanian, dan bunuhlah musuh-musuh kalian! Mudah-mudahan Allah menggembirakan hatiku dengan kesyahidan kalian.”
Pertempuran pun mulai berkecamuk, dan keempat anaknya terbunuh semua. Sebagian kaum Muslimin mengabarkan kematian mereka kepada ayah mereka. Al Khansa hanya menyunggingkan senyumnya dan tampak sangat bergembira. Ia berkata, “Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah memberiku kebahagiaan dengan kesyahidan anak-anakku di jalan-Nya.” Luar biasa!
Istri Shalihah, Yang Bagaimana?Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah saw bersabda,
“Seorang wanita dinikahi karena empat hal, yaitu karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah olehmu wanita yang berpegang teguh terhadap agamanya, niscaya engkau akan bahagia.”
Jadi, agama adalah faktor terpenting dalam memilih istri. Agama merupakan alasan pokok, sedangkan faktor-faktor lainnya hanya mengikuti.
Kita tidak memungkiri bahwa kecantikan itu perlu. Keturunan yang baik juga diharapkan. Demikian pula dengan harta. Namun semua itu berada di belakang faktor agama. Ketika faktor lainnya yang menjadi pilihan, maka keturunan kita akan cenderung buruk, tidak mengenal Allah, tidak pula mengenal negeri akhirat. Karena baik dan buruknya sebuah generasi akan sangat tergantung pada pemeliharaan ibunya.
Oleh karena itu, kewajiban pertama seorang ayah terhadap anak-anaknya adalah memilihkan ibu yang shalihah untuk mereka, yang hanya menginginkan ridha Allah dan kebahagiaan di akhirat.
Tidak perlu masuk di dalam pertimbangan para laki-laki Muslim, wanita yang tidak punya orientasi kepada ridha Allah dan akhirat, serta wanita-wanita yang tidak mengamalkan Al Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya.
Perhatikanlah, bukankah Allah swt telah menghinakan istri nabi Nuh? Allah pun begitu mencela, mengecam, dan merendahkan istri nabi Luth? Namun sebaliknya, Allah memuji istri Fir’aun, padahal ia tinggal di rumah sang raja diktator yang kafir. Hal itu disebabkan kaimanan dan ketakwaannya.
Kriteria Istri Shalihah
Seperti apa wanita yang shalihah? Rasulullah saw menyebutkan ciri-cirinya dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Auf ra,
“Jika seorang wanita menjaga shalat lima waktu, berpuasa pada bulannya, menjaga kehormatannya, dan menaati suaminya, niscaya dia masuk surga dari pintu mana saja yang dia inginkan.”
Betapa hebatnya penghargaan yang diberikan Allah kepada makhluk bernama wanita. Tidak perlu mereka berjihad dengan nyawa dan berperang membela agama untuk meraih surga-Nya. Tidak perlu repot-repot mereka membanting tulang mencari nafkah untuk meraih kesempatan menempati surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai di bawahnya. Hanya dengan satu kata, shalihah, maka semua itu akan terwujud dengan sendirinya. Mereka berhak beroleh surga yang indah dengan segala kemewahannya.
Shalihah, satu kata yang menjadi titel spesial seorang wanita ini, begitu dalam maknanya. Ia hanyalah kata sederhana namun dengan segenap makna yang tidak mudah untuk dilakukan.
Allah SWT telah memberitahukan arti kata ini dalam firman-Nya QS. An Nisaa’:34.
“Sebab itu, maka wanita yang shalihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).”
Ada dua kunci untuk menjadi shalihah berdasarkan firman Allah di atas, yaitu taat kepada Allah dan memelihara diri ketika suami tidak ada.
Taat kepada Allah jelas, bahwa wanita wajib melaksanakan semua perintah Allah dengan cara mengerjakan kebajikan serta meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh Allah.
Sedangkan memelihara diri ketika suami tidak ada, apakah maknanya? Wanita shalihah yang memelihara diri ketika suami tidak ada adalah mereka yang dapat memelihara harta dan juga rahasia suaminya. Mereka dapat bertindak bijak dengan menutupi segala hal dan rahasia suami istri yang sekiranya terlihat akan membuat malu.
Ada suatu kisah yang menyebutkan tentang utusan seorang wanita bernama Asma binti Yazid Al-Ashoriyyah, ia bertanya kepada Rasulullah mewakili para wanita lain. Mereka merasa cemburu akan betapa besarnya pahala lelaki dengan jihad yang dikerjakannya. Ia cemburu karena selama ini para wanita hanya di rumah dan mengurus anak-anak mereka. Ia bertanya-tanya apakah mereka (para wanita) dengan pekerjaannya di rumah mampu memperoleh pahala jihad seperti suami-suami mereka.
Lalu Rasulullah memberinya kabar gembira bahwa mereka tak harus melakukan hal-hal seperti jihadnya para lelaki untuk mendapatkan pahala yang sama. Mereka yang hanya bertugas di rumah pun mampu menandingi pahala suami-suami mereka.
Asma binti Yazid Al-Ashoriyyah berkata, “Ayah dan ibuku sebagai tebusanmu, sesungguhnya aku adalah utusan para wanita kepadamu, dan aku tahu -jiwaku sebagai tebusanmu- bahwasanya tidak seorang pun dari wanita baik di timur ataupun di barat yang mendengar kepergianku untuk menemui ini ataupun tidak mendengarnya melainkan ia sependapat denganku.
Sesungguhnya Allah mengutusmu dengan kebenaran kepada laki-laki dan wanita. Maka kami beriman kepadamu dan kepada Ilah-mu yang telah mengutus.
Dan sesungguhnya kami para wanita terbatas (geraknya); menjadi penjaga rumah-rumah kalian, tempat kalian menunaikan syahwat kalian dan yang mengandung anak-anak kalian.
Sementara kalian para laki-laki dilebihkan atas kami dengan sholat jum’at, jama’ah, menjenguk orang sakit, menghadiri jenazah, menunaikan haji berkali-kali, dan yang lebih baik dari itu berjihad di jalan Allah. Dan sesungguhnya salah seorang dari kalian apabila ia keluar haji atau umroh atau berjihad, kami yang menjaga harta kalian, menenunkan pakaian kalian, dan kami pula yang mendidik anak-anak kalian. Maka apakah kami mendapatkan pahala seperti kalian hai Rasulullah?”
Maka Nabi saw menoleh kepada para sahabatnya, kemudian beliau berkata, “Apakah kalian pernah mendengar perkataan wanita yang lebih baik dari pertanyaannya dalam urusan agamanya ini?” Mereka menjawab, “Hai Rasulullah, kami tidak mengira bahwa seorang wanita bisa paham seperti ini.”
Nabi saw menoleh kepadanya kemudian berkata, “Pulanglah wahai wanita dan beritahukanlah kepada wanita-wanita di belakangmu bahwasanya baiknya pengabdian salah seorang dari kalian kepada suaminya dan mengharapkan ridhonya, serta mengikuti keinginannya menandingi itu semua.”
Maka wanita itu pulang seraya bertahlil, bertakbir dengan gembira”. (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqy dalam Syu’abil Iman).
“…baiknya pengabdian salah seorang dari kalian kepada suaminya dan mengharapkan ridhonya, serta mengikuti keinginannya menandingi itu semua.”
Allahuakbar! Betapa Allah sangat kasih sayang kepada para wanita shalihah. Kalimat tersebut adalah jawaban yang berasal langsung dari sabda Rasulullah dan hal itu merupakan kunci sukses untuk memperoleh predikat shalihah bagi para muslimah.
Semoga seluruh kaum muslimah dapat menempuhnya hingga mendapatkan predikat spesial tersebut dan para lelaki mukmin juga dimudahkan oleh Allah untuk memperoleh pendamping hidup seorang wanita shalihah. Sebab ibu yang shalihah adalah hak anak yang harus dipenuhi para ayah. Dan sebab hanya dengan tangan dingin seorang ibu yang shalihah sajalah akan terlahir generasi-generasi mukmin yang lebih baik dari generasi hari ini. Wallahu’alam.
Oleh:Haifa Ramadhan