Menikah, siapa yang tak ingin? Apalagi setelah kukenal manhaj salaf. Rasanya tak ada lagi keinginan untuk menunda sunnah mulia itu, meski aku belum selesai kuliah. Makanya, saat ada teman taklim yang menawari nikah dengan seorang ikhwan, aku langsung setuju. Hatiku berbunga.
Satu pekan kemudian ikhwan itu datang untuk melamar. Kuhargai keseriusan sang ikhwan yang mau jauh-jauh keluar kota untuk menemui orang tuaku. Dengan jujur dan apa adanya, ia jelaskan siapa dirinya kepada orang tuaku, tanpa ada ynag ditutup-tutupi. Kedua orangtuaku menghargai sang ikhwan. Namun saat bapak bertanya di mana ia sekolah dulu, bapak menjadi kurang “sreg”. Dengan alasan aku belum selesai kuliah, bapak minta maaf belum mengijinkan aku menikah.
Ya, sang ikhwan memang hanya lulusan sekolah dasar. Meski menurutku tak jadi soal, bagi kedua orangtuaku hal itu menjadi nilai minus sang ikhwan. Padahal dari informasi yang kudapat meski Cuma lulus SD sang ikhwan pandai, wawasannya luas dan tak gagap iptek. Dia juga pintar bahasa arab dan inggris.
Secara ekonomi ia juga pria mapan dan mandiri. Tidak tergantung pada orang tua, membangun usaha dari nol hingga sebesar sekarang. Dan yang terpenting ia juga perhatian pada agama islam, dari situ aku yakin ia bisa membimbingku bila menikah. Qodarullah, takdir bicara lain. Meski sedih, aku menurut kehendak orang tuaku. Aku hanya pasrah pada Allah atas apa yang terjadi.
Semester akhir seorang akhwat (Nisa, sebut saja begitu) menawariku menikah dengan kakaknya. Dengan Bismillah, kusambut kembali tawaran itu. Apalagi kakaknya tersebut yang meminta tolong untuk dicarikan seorang akhwat. Ia seorang sarjana, dengan kriteria yang sedikit rumit menurutku. Tapi wajar saja bukan, jika seorang mencari mencari yang terbaik? Namun, sang ikhwan kurasakan tak serius. Dia seperti menarik ulur, tak segera mengatakan ya atau tidak. Aku mencoba berbaik sangka padanya.
Selang tiga hari, setelah dua pekan, nisa datang membawa pesan, bila kakaknya ingin bertemu kedua orangtuaku. Tapi kedua orangtuaku yang harus datang ke kost di kota tempat aku kuliah, tepatnya di kota ikhwan. Belum selesai keterjutku dengan sikap si ikhwan dengan permintaannya, Nisa menangis.
Dengan emosi dia memelukku, menangis minta maaf atas sikap kakaknya yang menurutnya keterlaluan dan tidak menghormati orang tuaku dan juga diriku. Ia memintaku untuk mundur dan memperdulikan lagi tawaran kakaknya. Ia juga sangat marah dengan sang kakak dan meresa malu. Alhamdulillah aku berhasil menenangkannya dan memastikan aku baik-baik saja. Ia mendoakanku mendapat ganti yang lebih baik dan selalu mendukungku. Hingga saat ini kami masih saling berhubungan dan menjadi sahabat karib. Bahkan ia menjadi seperti saudaraku sendiri.
Sepekan kemudian, Nisa meneleponku. Katanya, ia punya info seorang ikhwan. Nisa bilang insyaallah jauh lebih baik dari kakaknya yang mengecewakanku. Aku hanya tertawa dan mengucapkan terimakasih. Ia bilang akan datang esok hari dengan biodata ikhwan. Sebelum Nisa menutup teleponnya, aku juga bilang padanya bahwa aku mendapatkan tawaran dari ikhwan lain. Nisa bilang tak apa, bisa untuk pilihan dan bahan pertimbanganku.
Sesuai janji Nisa datang ke tempat kosku. Sebelum menyerahkan biodata yang dibawanya Nisa bilang bahwa ia ingin mencarikan jodoh untukku. Sebab menurutnya ia masih bersalah padaku atas ulah kakaknya dan ingin menebusnya. Padahal, jujur aku tak lagi mempersalahkan hal itu.
“ikhwannya insyaallah bagus agamanya, dia baik, sarjana, dan jadi guru di pondok sala… Soal fisik, insyaallah nggak mengecewakan, dia jago karate lho. Dia lagi skripsi sambil jadi guru di pondok. Prestasinya banyak … bla… bla…”
Kudengarkan penjelasan Nisa sambil senyum. Ah,.. Nisa, dia benar-benar lagi promosi dan begitu serius mencarikan jodoh untukku. Padahal ia tak seharusnya repot-repot mencarikan jodoh hingga seperti itu, informasinya komplit sedetail-detailnya. Sungguh kuakui, Nisa benar-benar sayang padaku, walhamdulillah.
Kubaca biodata ikhwan yang disodorkan Nisa, Subhanallah! Setelah kubaca, ikhwan itu ternyata sama dengan ikhwan yang biodatanya dibeikan seorang isteri ustadz tempat aku taklim. Sungguh, aku begitu takjub. Dua biodata satu orang yang sama!!! Subhanallah, mungkinkah ini jodohku? Dan kulihat matanya bersinar diiringi air mata yang mengambang dipelupuk.
Tak sampai sepekan, usai aku memberi jawaban”Ya”, ikhwan dan keluarganya datang kerumahku. Alhamdulillah keluargaku tak keberatan aku menikah, meski aku belum selesai kuliah, dengan syarat aku tetap harus menyelesaikan kuliah.
Dua pekan kemudian aku benar-benar menikah dengan pesta sederhana walau sebenarnya kedua orang tua kami ingin pesta digelar meriah. Maklum, kami sama-sama anak pertama. Sayang dihari bahagiaku Nisa tak hadir karena tempat yang jauh dan dia sakit. Namun ia mengucapkan selamat untukku lewat telepon. Kini aku telah memiliki seorang putri, Aisyah namanya. Aku hidup tenang dan bahagia bersama belahan jiwaku. Dan semua itu kudapat setelah dua kali kegagalan. Allah memberi yang terbaik untukku setelah aku lama menunggu. (Ummu Fatimah Daud)
Sumber: Majalah Nikah Sakinah Volume 9, No 1 / http://enkripsi.wordpress.com/2010/09/27/setelah-gagal-2-kali/