- “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim, 66: 6)
Deras mengalir air mata membasahi pipi wanita berkerudung biru itu saat membaca al-Qur’an. Membaca sebuah ayat yang menggetarkan hatinya, surat At-Tahrim ayat 6. Dhisya memang belum berkeluarga. Ia sedang berikhtiar menuju ke sana. Siang ini rasa sedih menghantuinya. Abah dan ummi masih belum mengizinkannya menikah dengan Kholid, pria pilihannya. SMS (short message service) dari abah jelas sudah menunjukkan ketegasan pilihannya kurang tepat, “Abah ingin kamu selesaikan kuliahmu dulu…jangan buat ummi menangis lagi…” Gaya bahasa abah yang seperti itu, memang menyatakan ketidaksukaannya terhadap setiap pilihannya. Padahal ketujuh kakaknya menikah saat mereka masih kuliah.
Kholid, pria keenam yang ingin berproses menikah dengannya menjadi ikhtiarnya selama ini. Pria ini memang terbilang cerdas dan mapan di kalangan para mahasiswa. Namun neraca Allah selalu adil, Kholid memiliki kekurangan secara fisik. Kaki Kholid tak sempurna untuk tegak berdiri ataupun berjalan.
Dhisya tak pernah mempermasalahkan keterbatasan fisik seseorang selama keshalihan dirinya melekat erat. Begitulah penilaian Dhisya terhadap Kholid. Namun keluarga Dhisya tak berpikiran sama.
Air mata masih mengalir hingga adzan Ashar pun menggema di masjid kampus. Dhisya pun terburu-buru menuruni anak tangga masjid untuk mengambil wudhu kembali.
==
“Afwan ukhti…an tidak mengikat apapun ke anti…anti berhak berproses dengan ikhwan yang lain…begitu pula dengan ana…tapi ana masih belum bisa dengan cepat berproses dengan selain anti…ana bertawakal semuanya kepada Allah…klo jodoh insya Allah kita akan berjumpa lagi…amiin”, begitulah isi sms terakhir dari Kholid di HP Dhisya. Deras sudah, tiada henti air mata Dhisya mengalir.==
Pagi ini, seperti biasa ammah Wati memeriksa hafalan Dhisya dan kawan-kawan sebelum melakukan aktivitas apapun. Alhamdulillah hampir setengah tahun ini, Dhisya telah hafal 6 juz di Rumah Qur’an. Bersama 15 akhwat lainnya, Dhisya ngekos plus tahfidzh. Memang cita-citanya ingin menghadiahkan kado terindah di surga kelak untuk abah dan umminya lewat dirinya sebagai seorang hafidzhoh.
- Menurut Dhisya dengan menjadi seorang hafidzhoh (penghafal Al-Qur’an) cita-cita memberikan kado kepada ummi dan abahnya itu insya Allah terwujud. Rasulullah telah menyatakan itu semua dalam sebuah hadits, “Siapa yang membaca Al Qur’an, mempelajarinya, dan mengamalkannya, maka dipakaikan mahkota dari cahaya pada hari kiamat. Cahayanya seperti cahaya matahari dan kedua orang tuanya dipakaikan dua jubah (kemuliaan) yang tidak pernah didapatkan di dunia. Keduanya bertanya, “Mengapa kami dipakaikan jubah ini?” Dijawab, “Karena kalian berdua memerintahkan anak kalian untuk mempelajari Al Qur’an.” (HR. Al-Hakim)
Seperti biasa, setelah setoran hafalan Dhisya pun segera menuju sekolah tempatnya mengajar. Si belalang biru, motor kesayangannya, mengantarkannya menjemput senyum yang selama ini telah hilang. Dhisya paling senang beraktivitas di sekolah semenjak ia lulus kuliah. Baginya anak-anak mengobati rasa sedih yang menyelimutinya selama ini. Sudah hampir 2 tahun ia tidak memikirkan hidup berkeluarga semenjak prosesnya yang keenam dengan Kholid. Mungkin Kholid sudah berkeluarga pikirnya.
===
Di belahan bumi lainnya, Kholid semakin mantap menjadi pengusaha bidang perikanan di daerah timur Indonesia. Merantau sendiri dengan memanfaatkan link selama di kampus, usahanya kini berkembang pesat. Bahkan penghasilannya jika untuk biaya nikah terbilang sudah cukup bahkan lebih. Tinggal menunggu siapa calonnya saja.
Kring…kring…kring…suara handphone Kholid pun membuyarkan lamunannya. “Assalamu’alaikum lanang ku…pie kabare? Oh ya nang ibu ada kabar bagus buat mu…ibu….”
“Wa a’laikumussalam bu…tenang bu…koq terburu-buru bicaranya?”
“Sinta mau nikah denganmu nang…ia dan keluarganya mau menerimamu apa adanya…ndak kayak…”
“Bu…sudah yang lalu biarkan bu…”
“Segera pulang nang…kita lamar Sinta secepatnya nang…jangan sampai nti didahului orang…”
“Iya Bu…insya Allah…nti aku pulang…aku…”
“Sudah ya nang…ibu mau kasih tau Pakde mu dulu…Assalamu’alaikum…”
Tut…tut…tutBegitulah ibu menyelesaikan percakapan dengan Kholid. Ibu memang telah menantikan kehadiran menantu baru setelah semua anaknya yang lain menikah, terutama setelah anak bungsunya menikah. Ibu terbilang sangat khawatir dengan dirinya. Apalagi dengan keterbatasan fisik Kholid, ibu sangat cemas. Padahal Kholid sudah terlalu sering menyampaikan, “Jodoh itu urusan Allah bu…ibu tenang saja…insya Allah nti Kholid menikah bu…”
Ibu terdengar bahagia sekali saat mengetahui anak kerabatnya bersedia dipersunting anaknya. Beda dengan laki-laki yang kini terpaku memandang lautan biru di hadapannya. “Si akhwat biru, apa yang kini ia lakukan? Sedang apa ia sekarang? Sudahkah ia menikah?” batin Kholid mengingat Dhisya. Wanita pertama yang tertambat dalam hatinya yang semakin membuatnya semangat beribadah.
===
“Neng kapan lo mau nikah nak? Abah ma ummi dah was-was ma umur lo yang sekarang…”, ungkap abah saat berbicara lewat hp dengan Dhisya.
“Eh lo jangan diem aje…lo mau kayak gimane neng? Lo anak bontot abah yang belum kawin sampe sekarang…abah bingung…”
“Eh lo masih diem aje…lo denger kagak? Apa yang abah bilang? Lo masih mau kawin ma Kholid ntu?”
“Ehm….”terdengar suara Dhisya lemah di ujung telepon
“Dhisya mau ngajar dulu aja Bah…nanti aja Bah nikahnya…”
“Ya Allah neng…mau sampe kapan lo idup sendiri? Kalo lo emang masih mau nikah ma Kholid ntu…”Abah terdengar mengambil napas sebentar untuk melanjutkan ucapannya
“Abah izinin neng…lo hubungin lagi tuh orang…”
“Beneran Bah? Neng nggak salah denger?” pipi Dhisya memerah tanda bahagia
“Iye…ya udah terserah lo sekarang…Abah dukung lo aje…Abah nggak mau lo kelamaan nggak kawin-kawin…ya udeh Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumussalam….” Tut…tut…tut…Pipi Dhisya semakin memerah dan setetes air mata bahagia menyergap tubuhnya. Segera ia menuju mushalla sekolah untuk sujud syukur dan shalat dua rakaat. Alhamdulillah segala puji milik Allah, penantian yang berkepanjangan akhirnya berbuah indah.
Selepas mengajar Dhisya pun terburu-buru berpamitan dengan kepala sekolah dan guru-guru. Ia menyalakan motor kesayangannya sambil mengirimkan sms ke ustadzahnya, “Assalamu’alaikum ummi…Dhisya mampir ke rumah ummi y sore ini…mw minta tolong diuruskan lagi proses ta’arufnya dengan akh Kholid mi…abah dah ngizinin Dhisya mi…sebntr lg dhy ksna y ummi…”
Dhisya pun mengendarai motornya menuju rumah tempat ia dulu ta’aruf/mengenal Kholid. Bunyi tanda sms pun terdengar dari saku jaketnya. Dhisya tak terpengaruh dengan bunyi hp nya itu karena ia sedang mengendarai motor. Terlebih-lebih ia ingin segera bertemu dengan ummi, ia tidak ingin menepi dahulu. Biar nanti dibaca sms-nya ketika sampai di rumah ummi pikirnya.
Sekali lagi suara tanda sms terdengar dari hp nya. Dan tak dihiraukan lagi. Ia begitu asyik dengan hatinya yang penuh dengan kesyukuran dan kesungguhan mengikuti sunnah Rasul-Nya.
- Tiba-tiba, dari arah berlawanan, sebuah motor melaju kencang dengan gaya zig zag. Motor itu pun membuat motor Dhisya tersenggol. Fatalnya, motor Dhisya tersangkut di badan bawah truk pembawa pasir sehingga menyeret Dhisya cukup jauh. Orang-orang yang membawa kendaraan di sekitar jalan tersebut terkejut luar biasa dan meminta supir truk segera berhenti. Saat itu supir truk tidak tau jika ada motor yang terseret. Walau supir tadi sempat merasakan kejanggalan saat membawa truknya.
Kondisi Dhisya yang sudah tak sadarkan diri dipenuhi oleh cairan merah yang membasahi baju dan jilbab birunya. Seorang ibu dengan keluarganya pun segera membawanya masuk ke dalam mobil untuk dibawa ke rumah sakit. Syukurnya jarak rumah sakit tidak terlalu jauh dari tempat kejadian. Pengendara yang lain pun menghubungi polisi lalu lintas sekitar, dan pengendara motor yang menyenggol pun segera diamankan.
Di dalam mobil, sempat terdengar suara pelan dari mulut Dhisya, “Allah…aku mencintaimu…” Ibu yang membawanya ke rumah sakit pun berinisiatif membimbing Dhisya dengan kalimat, “Asyhadu alla ilaha illallah…wa asyhadu anna muhammadar rasulullah…” dan Dhisya pun lirih mengikuti dan menyebutkan “Allah…Allah…Allah…” selanjutnya Dhisya pun tak bergeming.
Sesampainya di IGD, para dokter langsung menangani Dhisya. Namun sayang, wanita berjilbab biru berlumur darah itu tidak bisa diselamatkan lagi. Dokter pun meminta ibu yang membawanya tadi menghubungi keluarganya. Dicarinya handphone di tas, tidak ada. Di saku baju, tidak ada. Dan terakhir di kantong dalam jaketnya ditemukan hp-nya.
Ibu tadi pun membuka hp tadi, terlihat 2 sms yang masuk. Mungkin ini keluarga dekat wanita ini, pikir ibu itu. Dibacanya sms pertama, “Silakan Dhisya…ummi tunggu di rumah. Insya Allah kita usahakan lgi proses ta’arufnya dengan akh Kholid…ditunggu ya sayang.” Ibu yang membaca sms itu pun membalas sms-nya mengabarkan ketiadaan Dhisya dan meminta untuk mengabarkan keluarga yang lainnya.
Sms yang kedua pun dibukanya, “Aslm, ukhti bagaimana kabarny? Sudah lama ya tidk da kbr dr anti…apa anti sudah menikah…? Mohon doanya insya Allah anna akan meminang seorang wanita pilihan ibu anna…mohon doanya ukhti…semoga anti bahagia.” Sekali lagi ibu yang membaca sms itu pun memberitahukan meninggalnya wanita berjilbab biru itu.
Semerbak harum kasturi mulai memenuhi ruang IGD itu. Dan wajah Dhisya pun terlihat bercahaya walau darah memenuhi wajahnya. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.
Oleh:
Dhiyaudzdzikrillah, SP.sumber:dakwatuna.com