Para ahli fikih mengatakan bahwa boleh membuang zigot (nuthfah) dengan obat yang dihalalkan sebab hal itu belum menjadi manusia, bahkan belum menjadi cikal bakal manusia (mudhghah/ gumpaaln darah). Sebagian mereka mengatakan: tidak boleh, sebab Allah Ta’ala berfirman,
فَجَعَلْنَاهُ فِي قَرَارٍ مَّكِينٍ. إِلَى قَدَرٍ مَّعْلُومٍ “Kemudian Kami letakkan dia dalam tempat yang kokoh (rahim), sampai waktu yang ditentukan.” (Q.s. Al-Mursalat: 21–22)
Dengan demikian, kita tidak diperbolegkan menembus tempat yang kokoh ini kemudian mengeluarkan janinnya. Pendapat inilah yang lebih mendekati kebenaran; bahwa hal itu haram hukumnya. Akan teteapi, kadar keharamananya tidak seperti apabila pembuangan janin itu telah mencapai umur empat bulan (setelah adanya ruh).
Bagaimana jika seorang wanita menderita suatu penyakut dan khawatir atas keberadaan janinnya; apakah ia boleh menggugurkan sperma yang ada di rahimnya? Jawaban: Boleh, sebab penggugurannya menjadi hal darurat. (Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah, hadits keempat, karya Syekh Al-’Utsaimin)
Tujuan nikah adalah untuk memperoleh anak yang shalih; dan tidak setiap nuthfah itu dapat menjadi seorang anak. Oleh karena itu, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan nuthfah itu mulai berproses menjadi seorang anak, sejak itu pula tindakan menyengaja menghalangi proses tersebut merupakan perbuatan yang bertentangan dengan tujuan nikah itu sendiri. Semakin sempurna perkembangan nuthfah tersebut maka penggugurannya secara sengaja akan semakin memperbesar dosanya. Bahkan jika penggugurannya dilakukan saat janin telah sampai pada tahap ditiupkannya ruh (usia kandungan 4 bulan), itu sama saja dengan pembunuhan seorang mukmin.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, وَإِذَا الْمَوْؤُودَةُ سُئِلَتْ “Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya.” (Q.s. At-Takwir: 8)
Jika pada zaman jahiliah mereka masih memberi kesempatan kepada si anak untuk menghirup udara dunia dan mereka hanya membenci anak perempuan saja, maka di zaman jahiliah modern ini, mereka sama sekali tidak membiarkan bayi-bayi itu hidup; bayi laki-laki maupun perempuan.
Dalam kitabnya, Akhta’un wa Mukhalafatun fil Hayatiz Zaujiyyah, Salman bin Zhafir bin ‘Abdillah Asy-Syahrawi mengutip sebuah kisah yang dimuat dalam kitab Ahkamin Nisa’ karya Imam Jamaluddin Abil Faraj Ibnul Jauzi. Dikisahkan tentang seorang wanita yang dililit dan diserbu oleh segerombolan ular hingga tubuhnya tinggal tulang belulang. Ketika hamba-sahaya-wanita yang menyertainya ditanya, ia menjawab bahwa wanita itu telah berbuat zina tiga kali. Setiap kali ia melahirkan anak, ia segera menyalakan perapian lalu melemparkan bayinya ke dalam api tersebut. (Akhta’un wa Mukhalafatun fil Hayatiz Zaujiyyah, hlm. 99–100)
artikel : muslimah.or.id Sumber:
Tuntunan Praktis dan Padat bagi Ibu Hamil dari ‘A’ sampai ‘Z’ menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih, karya Abu Muhammad Ibnu Shalih bin Hasbullah, Cetakan Pertama, Rabi’ul Awwal 1430 H/Maret 2009 M, Pustaka Ibnu ‘Umar, Bogor.