|
perjalanan jodoh |
Hari-hari kembali berlalu dengan cara yang tak pernah disangka-sangka. Setiap kejadian bagaikan puzzle yang suatu saat memunculkan bentuk hidup yang paling nyata. Lima tahun telah berlalu sejak aku bertemu dengan lelaki yang tak pernah berputus asa itu. Aku kini lebih dari dewasa. Mungkin sudah bisa disebut perawan tua. Karirku melejit tak terkira.
Aku kini menjadi manajer marketing sebuah pabrik obat terkenal. Bayangan lelaki itu entah mengapa tak pernah hilang dari benakku yang selalu gelisah. Aku mencari tanpa tahu apa yang kucari. Sungguh mati aku ingin tahu bagaimana rasanya merindu. Dan bagaimana rasanya di tuntun. Bukan hanya bisa menyuruh ini itu. Aku memang seorang bos, tapi aku juga seorang wanita, bukan?
Dan bagaimana kah kabarnya kini? Adakah ia telah menikah, punya lima anak dan
berperut buncit? Atau dia tetap menungguku dengan setia? Duhai.. rasanya aku terlalu percaya diri. Seberapa pantas aku untuk ditunggu? Sama sekali tidak pantas. Apa lagi dengan apa yang telah terjadi padaku kini. Aku merasa benci sekali pada diriku. Dibandingkan dengan lelaki itu, aku adalah sampah. Sampah yang sombong, yang tak pernah menyadari kalau dirinya busuk.
Lalu pada suatu sore, sang waktu kembali membawaku ke kampung halaman. Kepada pedesaan yang hijaunya selalu kurindui. Kepada bapak yang cintanya tak pernah luntur oleh kenakalanku. Kepada ah.. aku tak berani menyebut namanya. Dia yang berhati malaikat. Mungkin ia telah bersanding dengan seorang bidadari. Dari bapak aku mendengar ia telah menjadi seorang ustadz, yang suka mengisi kajian dimana-mana dengan berbagai perlengkapan yang modern. Aku paham mungkin yang beliau maksud adalah komputer, power point dan sebagainya. Aku hanya bisa berdecak kagum dalam hati. Betapa jauh antara aku dan dia. Bagaikan langit dan bumi. Bagaikan hitam dan putih. Dan hitam tak mungkin bersatu dengan yang putih.
Beberapa hari aku mengambil cuti. Mencoba menikmati segala aura murni di desaku ini. Di rumah hanya ada aku dan bapak. Namun suatu hari, aku mendengar suara lain yang bukan suara bapak. Suara yang hanya berani aku dengar di alam mimpi.
“Assalamu’alaikum...,” di depan pintu itu dia berdiri, dengan senyum yang mengembang dan wajah tertunduk. Aku paham, seharusnya dia lebih menjaga diri dari perempuan lain jika sudah menikah. Masalahnya, aku yang tak bisa menahan gejolak di hati. Bagaimanalah ini? Tak mungkin aku jatuh cinta pada lelaki ini. Lelaki dengan segala kesederhanaannya, di antara lelaki tampan dan mapan lain yang pernah menyukaiku. Kenapa? Kenapa aku menyukainya?
Setelah menjawab salam (tentu saja dengan suara bergetar) aku menyilakannya duduk. Segalanya seperti de-javu. Lelaki itu, ruang tamu ini, bedanya adalah perasaanku yang kalut. Yang tak mungkin menyombongkan diri lagi. Aku telah kalah telak. Aku bagaikan pungguk dan dia adalah bulan.
Kembali aku merasakan kejadian enam tahun yang lalu. Tanpa tedeng aling-aling dia melontarkan niat yang sama. Aku sangat shock mendengarnya. Ini tidak mungkin. Enam tahun bukan waktu yang pendek bukan? Apalagi dia kini telah menjadi ustad terkenal. Lalu apa yang dia harapkan dariku? Jangan-jangan dia telah tertipu oleh kerudung yang kini aku kenakan. Sungguh ini bukan benar-benar kerudung, rambutku saja masih terlihat. Bahkan aku tidak yakin apakah aku benar-benar telah bertobat. Tapi ini sungguh-sungguh terjadi. Lelaki itu melamarku kembali. Untuk yang ketiga kali. Pasti dia sudah gila. Pasti pekerjaan sebagai ulama sangatlah menguras pikiran. Sampai-sampai dia juga tidak sempat menikah.
Aduhai... dan aku harus menolaknya.
“Kenapa?” pertanyaan yang sama.
Lidahku kelu.
“Apakah kau telah menikah?”
Aku menggeleng. Jika boleh, sungguh mati aku ingin menjawab “Ya”. Aku ingin sekali menikah dengannya. Tapi... tak mungkin.
“Lalu?”
Aku sama sekali tak berani mengangkat wajahku.
“Aku memang belum menikah. Tapi...,” secara tak sadar aku mengelus perutku, tiga detik aku terisak, “dan dia tak bertanggung jawab.”
Entah kenapa tangisanku semakin lama semakin panjang dan keras, seolah mengadu pada bapakku setelah sekian lama bermain-main di luar sana. Kuangkat wajahku. Kutemukan senyum teduh itu.
Aku membatin, tak mungkin hatinya se-malaikat itu.
Jogja, Juni 2012
sumber:
annida-online.com Penulis:
Zahriyah Inayati