Lelaki itu datang dengan sebuah niat suci. Menikahiku. Tentu saja aku langsung menolaknya. Masalahnya kami baru berkenalan 3 bulan. Kami berjumpa secara tak sengaja manakala dia diajak ayahnya silaturahim ke rumah. Ayahnya adalah sahabat baik ayahku.
Lagipula kenapa dia langsung ‘to the point’ begitu ya? Bayangkan, kami baru kenalan 3 bulan lho. Alih-alih mengajakku pacaran dulu, mendalami karakter masing-masing dulu, malah seenaknya mengajak menikah. Apa aku kelihatan seperti orang yang suka membeli kucing dalam karung? (Ups.. kebalik ya, aku kan sebagai kucing dalam karung yang mau dibeli). Lagipula kini ketika usiaku menginjak 24 tahun, bersemangat mengejar karir, dan asyik memilah dan memilih teman hidup yang benar-benar berkompeten, tak semestinya aku terburu-buru menerima pinangan. Aku punya beribu-ribu impian dan masih ingin menikmati hidup.
“Saya merasa belum siap.” Begitulah dalihku. Sungguh klasik diucapkan oleh mulutku, dengan sorot mata penuh penyesalan seolah aku benar-benar sedih menolak niat baiknya. Lalu dia menanyakan kapan aku siap. Ya ampun, apa dia tidak tahu tentang etika pergaulan. Aku telah menolaknya, tentu saja bukan hanya karena aku belum siap, namun aku juga buta tentang sosoknya.
“Entahlah... setahun, dua tahun, saya tidak yakin.”
“Saya akan menunggu.”
“Jangan!” refleks aku memekik, tapi dalam hati saja. Waktu itu aku sungguh bingung harus menjawab bagaimana lagi. Dia tidak mengajakku berpacaran. Tapi aku juga tidak menjanjikannya sebuah komitmen. Jadi secara teknis, kami tidak memiliki ikatan apa-apa. Terserah jika dia mau menungguku, yang penting aku masih bisa melenggang bebas menelusuri jalan mencari jati diriku.
Selama setahun kujalani hari-hari dengan penuh optimisme. Aku ganti pacar sebanyak 2 kali. Aku tidak perduli jika di ujung jalan sana ada seorang lelaki yang setia menungguiku. Pacar pertamaku tentu saja teman kuliahku dulu dan putus ketika kami diterima kerja di kota yang berjauhan, sedang pacar yang kedua adalah rekan kerjaku sendiri yang hobinya karaoke dan berprinsip bahwa hidup mesti dijalani santai-santai saja. Kami putus karena aku merasa hubungan kami kosong dan tak ‘berisi’. Entahlah.. kadang-kadang aku memang sok berfilosofi dan suka menganalisis segala sesuatu.
Aku juga berpindah pekerjaan sebanyak 3 kali. Pertama menjadi medical representative, kedua menjadi sales supervisor obat-obat ethical, dan ketiga menjadi seorang penanggung jawab sebuah perusahaan distributor obat ternama di kota. Maklum, sebagai lulusan farmasi, karierku juga tidak perlu jauh-jauh dari masalah obat. Meski segala pekerjaan itu membuatku jauh dari bapak, dan dari desaku yang cantik.
Suatu hari lelaki tersebut datang lagi. Kini usiaku 25 tahun, bertambah cantik dan memesona serta merasa telah kenyang menikmati pahit manis dunia kerja. Setahun tak bersua, sehingga aku sempat pangling dengan penampilannya. Wajahnya masih murah senyum, hanya saja kali ini senyumnya berbeda dengan yang dulu. Senyumnya kini lebih bersahaja, lebih bermartabat. Dia mengutarakan niat sucinya kembali. Untuk menikahiku. Aku berpikir dan berpikir. Setahun bukan waktu yang singkat untuk merubahku. Aku sedikit lebih dewasa. Namun belum cukup dewasa untuk mengambil keputusan. Menikah adalah sesuatu yang besar, bukan?
“Kenapa?” tanyanya dengan sorot mata yang tetap sejuk, seolah jawabanku tidak akan begitu mempengaruhi hidupnya. Saat itulah muncul sebersit penghormatan terhadap sosoknya. Dari bapak, aku tahu lelaki itu sudah melebihi ekspektasiku. Dia sudah cukup mapan, rajin sholat, dan tidak neko-neko.
“Hanya saja, menurut saya, sekarang belum waktunya.”Jawaban aneh itulah yang bisa kuberikan. Mungkin dia sudah cukup berkualitas untuk memulai sebuah mahligai rumah tangga. Tapi masalahnya, aku yang merasa belum siap. Akulah yang belum berkualitas. Akulah yang masih dangkal wawasannya, aku yang masih bolong-bolong sholatnya, dan aku yang masih berambisi mengejar karier.
Ego ku pun masih tinggi. Aku belum siap terkungkung oleh pekerjaan rumah tangga, pertemuan dasawisma ibu-ibu yang suka bergosip, dan dikerubuti anak-anak kecil yang selalu membelit tangan dan kakiku. Aku masih ingin berpetualang ke negeri antah berantah, aku ingin merasakan saripati hidup, dan berjumpa dengan berbagai karakter manusia. Aku masih ingin bebas. Jiwaku pun bebas, bukan milik siapa-siapa. Ya ampun, ternyata pemikiranku sudah begitu maju.
Entah dia mengerti atau tidak, namun hari itu lelaki tersebut kembali ke rumahnya dengan jawaban kosong, atau lebih tepatnya mengambang. Aku masih ingat kata-kata bijak bestari yang aku lontarkan kepadanya,
“Saya tidak ingin membuat sampeyan menunggu. Jika sampeyan menemukan perempuan yang lebih baik dari saya, saya tidak keberatan jika sampeyan melabuhkan hati sampeyan kepadanya. “